Rangkaian Bunga Ungu
Rangkaian
Bunga Ungu
Mungkin aku
masih belum bisa memiliki sepenuh hatinya. Mungkin dia juga belum bisa
melupakan sepenuhnya akan masa lalunya. Seharusnya aku yang bisa menerimanya
tanpa melihat kebelakang akan siapa dirinya. Atau memang seharusnya aku yang
harusnya tidak masuk ke kehidupannya untuk saat ini? Entahlah.
Malam
itu aku bertanya kepadanya tentang tempat pembelian bunga. Pembicaraan kami pun
melebar hingga kemudian ia mengatakan setidaknya ia dua minggu sekali
mengunjungi tempat itu untuk membeli bunga untuk salah satu temannya. Namanya
juga seorang kekasih, pasti rasa cemburu akan datang. Dua bulan sudah kami
resmi berpacaran. Namun belum pernah sekali pun ia memberiku setangkai bunga.
Namun bahkan setiap dua minggu sekali ia membelikan bunga untuk seseorang yang
katanya hanya teman. Hati perempuan mana yang rela mendapat keputusan itu.
Meskipun aku tersenyum dan selalu membiarkannya melakukan itu namun sesekali
aku merasa iri atas ketidak adilan sikapnya. Dan setiap aku bertanya siapa
temannya itu, ia hanya menatap mataku dan tersenyum. Seolah tatapan matanya
mampu meredam kecemburuanku dan membuatku seakan tak berkutik sama sekali.
Aku
mencoba bertanya pada teman temannya tentang seseorang yang sedang dekat
dengannya. Namun mereka mengatakan jika hanya aku dan bahkan ia selalu menjaga
jarak dengan perempuan lain untuk menjaga perasaanku. Salah satu temannya
mengatakan jika Adrian sangat mencintaiku. Aku bisa sedikit bernafas lega
karena dimata teman temannya hanya ada aku dihatinya. Aku hanya tidak ingin mereka
mengetahui jika seandainya Adrian mempunyai pacar lain selain aku.
Hari
Selasa itu Adrian bahkan tak menghubungiku sama sekali. Saat pulang sekolah
sekitar pukul dua siang aku memutuskan untuk mengikutinya kemana ia pergi. Ia
sampai ke kota baru dan menuju ke salah satu penjual bunga. Ia membeli
rangkaian bunga di dominasi warna ungu. Saat ia pergi aku mulai menuju
tempatnya membeli bunga. Aku bertanya kepada bapak bapak penjual bunga. Bapak
itu pun mengatakan jika ia rutin membeli bunga yang di dominasi warna ungu
untuk temannya. Dan ketika aku bertanya untuk siapa nama temannya bapak itu
hanya tersenyum dan langsung menduga jika aku adalah kekasihnya. Aku hanya
tidak paham apa maksud bapak itu. Bapak penjual bunga itu mengambil setangkai
mawar merah dan merapikan batangnya lalu
ia berikan kepadaku.
“Lho pak saya tidak beli mawar”, kataku.
“Ini buat adek saja, tidak usah bayar tidak apa apa,
bapak ikhlas”.
Aku
semakin dibuat bingung dengan perlakuan bapak itu. Aku memandang mawar itu dan
memulai berbicara secara pelan,
“andai saja dia ingat padaku pasti setiap dua minggu sekali
aku lah yang selalu dibelikannya bunga”.
Bapak
itu tersenyum dan mulai mengambil kertas kecil lalu menulis sesuatu yang tak
kuketahui isinya. Ia memberikan kertas biru muda itu kepadaku. Ketika kubaca
ternyata itu adalah sebuah alamat yang sepertinya belum pernah ku kunjungi
sebelumnya. Aku berpamitan pada bapak itu dan mengucapkan terimakasih. Bapak
itu kembali tersenyum padaku dan melambaikan tangannya.
Tak
perlu repot kucari alamat yang diberikan oleh bapak itu. Lagipula jaraknya juga
tak jauh dari tempat penjualan bunga tadi. Baru kusadari jika aku telah masuk
ke kompleks pemakaman. Aku masih bingung mengapa bapak itu menyuruhku ke tempat
ini tanpa alasan yang jelas. Aku mulai memarkirkan kendaraanku dan mengambil
mawar pemberian bapak tadi.
Sebenarnya
aku juga tidak tau kemana aku melangkah, aku hanya menapaki jalan utama di
makam itu sambil mencium aroma mawar. Sesekali aku melihat kanan kiri berharap
aku mendapat petunjuk mengapa aku ada disini. Sepuluh menit sudah aku berjalan
dan aku tak menemukan apa apa. Aku memutuskan untuk kembali ke tempatku
memakirkan kendaraanku. Namun setelah aku berbalik kertas bitu muda yang
diberikan bapak itu palah kabur terkena hembusan angin kearah yang berlawanan.
Aku membalikkan badaku kembali dan mengambil kertas tersebut. Saat aku berdiri,
aku melihat sepertinya Adrian ada di salah satu makam. Ia sedang berdiri dan
memandangi salah satu makam itu. Aku mengurungkan niatku untuk kembali ke
parkiran dan perlahan mendekati Adrian. Aku sendiri belum yakin apakah itu
Adrian atau hanya orang yang pakaianya mirip Adrian saja. Namun setauku
keluarga Adrian masih utuh. Nenek dan kakeknya memang sudah meninggal, namun
mereka dimakamkan di dekat desanya. Aku semakin mendekat dan mungkin lima
langkah lagi aku sampai di samping lelaki itu. Aku berhenti dan melihat
nisannya. Ternyata makam itu adalah makam seorang gadis bernama Carissa. Nama
itu cukup asing bagiku karena tak pernah sekali pun Adrian menyebut nama itu di
depanku. tanggal ia wafat pun sekitar enam bulan lalu. Dan ketika aku melihat
tanggal lahirnya ternyata ia juga seumuran denganku. Tanggal lahir aku dan
Carissa pun sama, namun bulan kita terpaut tiga bulan. Itu artinya ia lebih tua
dariku tiga bulan.
Aku
masih belum tahu siapa almarhuma gadis itu sebenarnya. Aku hanya berpikir ia
adalah mantan terakhir Adrian. Suasana di pemakaman ini sepi, angin berhembus
sepoi sepoi dan matahari pun masih bersinar terik meskipun kini jam tanganku
menunjukkan pukul tiga lewat empat belas menit. Aku masih ragu untuk mendekati
seseorang yang kupikir Adrian itu. Saat aku akan melangkahkan kaki ku, lelaki
itu menoleh perlahan. Benar saja, dia adalah Adrian. Ia memandangku dan
memegang tanganku, lalu mengajakku untuk berdoa untuk gadis bernama Carissa
itu. Setelah kami berdoa ia meletakkan rangkaian bunga yang ia beli di atas
makam gadis itu. Selama kami disini pun ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Ia sesekali mengelus nisan dan tersenyum. Dari raut matanya dapat kusimpulkan
jika Carissa adalah sosok yang sangat berarti untuk Adrian.
Selesai
itu semua barulah Adrian mengajakku meninggalkan makam itu. Ia mengajakku ke
suatu tempat yang menurutku sangatlah indah. Tempatnya terletak diatas
perbukitan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari makam itu.
Aku
memulai duduk di bawah suatu pohon dan memandang ke arah kota Jogja yang
terlihat mempesona jika dilihat dari tempat ini. Adrian kemudian duduk
disampingku dan ia mulai menjelaskan tentang siapa Carissa sebenarnya. Ternyata
Carissa adalah salah satu sahabatnya semasa SMP. Ia meninggal karena tragedi kecelakaan enam bulan lalu yang dialaminya bersama
keluarganya. Ayah, Ibu dan kakak Carissa selamat dari tragedi ini, namun
sayangnya Carissa tidak. Carissa adalah sahabat terbaik yang pernah dimiliki
Adrian di SMP selain Rizky dan Neola. Tak terasa kami sudah disini selama dua
jam dan sang surya pun perlahan menghilang dari pandanganku. Ia menjelaskan
semuanya kepadaku. Ia juga menjelaskan mengapa ia selalu membeli rangkaian
bunga warna ungu untuk ditaruh di makam Carissa. Karena semasa hidupnya Carissa
sangat menyukai bunga, terutama bunga yang berwarna ungu. Oleh karena itu
setiap dua minggu sekali Adrian membelikannya bunga dan mengunjungi makam
Carissa. Dan tanpa kuketahui keluarga Carissa pun pindah keluar kota setelah
wafatnya Carissa sehingga makamnya pun jarang ada yang mengunjungi selain
Adrian, Rizky dan Neola.
Kini
aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya aku tak berfikir macam
macam tentang Adrian. Namun terkadang sifatnya yang tertutup membuatku semakin
ingin tahu tentangnya. Ia juga mengatakan kepadaku untuk tidak cemburu pada
Carissa jika nantinya ia akan tetap mengunjungi makan Carissa. Ia mengatakan
jika aku adalah orang yang beruntung karena saat ini aku masih diberi waktu
untuk hidup bersamanya tanpa harus meninggalkan orang yang kusayangi. Saat ini
aku paham akan semua yang Adrian lakukan. Ia adalah sosok yang sangat penyayang
terhadap orang yang ada di sekitarnya. Dan aku adalah perempuan yang paling
beruntung karena dapat memiliki sosok Adrian yang sangat mulia hatinya.
Writer : Afrida
Normalita
Find me on : Twitter, Line, IG (@afridans)
Komentar
Posting Komentar