PENCEGAHAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
1.
Konsep Pemberantasan Korupsi
Upaya yang paling tepat memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana
atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Jika memang demikian, bidang
hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat
untuk memberantas korupsi.
2.
Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan
penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Arief, 2008):
·
Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law
application)
·
Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention
without punishment)
·
Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of
society on crime and punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya
seperti penyuluhan dan pendidikan.
Melihat
perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan
kejahatan
dapat dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur
non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal).
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun
untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari
KPK yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini
korupsi). Faktor-faktor kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik,
ekonomi, maupun sosial yang secara langsung atau tak langsung dapat menimbulkan
atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi). Dengan demikian upaya non-penal
seharusnya menjadi kunci ataum memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya
politik kriminal.
Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau
dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku
korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki
“keterbatasan” dan mengandung beberapa “kelemahan” (sisi negatif)
sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara “subsidair”. Pertimbangan
tersebut adalah (Arief, 1998):
· Dilihat
secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam
bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimatum remedium (obat
terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan
lagi)
· Dilihat
secara fungsional (pragmatis), operasionalisasi, dan aplikasinya menuntut biaya
yang tinggi
· Sanksi
pidana mengandung sifat kontradiktif/pradoksal yang mengandung efek sampingan
negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Permasyarakatan
· Penggunaan
hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am
symptom’ (menyembuhkan gejala). Hanya merupakan obat simptomatik bukan
pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada
di luar jangkauan hukum pidana
· Hukum pidana lainnya yang tidak
mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang
sangat kompleks
· Sistem
pemidanaan bersifat framentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural
atau fungsional
·
Efektivitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masing
sering diperdebatkan opleh para ahli.
3.
Berbagai Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi
United
Nations mengembangkan berbagai upaya atau strategi untuk memberantas korupsi
yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam
bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkits (UNODC, 2004):
3.1.
Pembentukan Lembaga Anti Korupsi
a. Membentuk
lembaga independen yang khusus menangani korupsi. Di Hongkong bernama Independent
Commission Against Corruption (ICAC), di Malaysia the Anti-Corruption
Agency (ACA), dan di Indonesia: KPK
b. Memperbaiki
kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan Lembaga Permasyarakatan. Pengadilan adalah jantung penegakan hukum yang
harus bersikat imparsial (tidak memihak), jujur, dan adil. Banyak kasus korupsi
tidak terjerat hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila
kinerja buruk karena tidak mampu (unable) mungkin masih bisa dimaklumi karena
berarti pengetahuan dan keterampilannya perlu ditingkatkan. Bagaimana bila
mereka tidak mau (unwilling) atau tidak punya keinginan kuat (strong political
will) untuk memberantas korupsi? Dimana lagi kita akan mencari keadilan?
c. Di tingkat
departemen kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal harus
ditingkatkan. Ada kesan lembaga ini sama sekali tidak punya ‘gigi’ ketika
berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi
d. Reformasi
birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara mencegah
korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal,
semakin banyak pula kemungkinan terjadinya korupsi
e. Hal lain
yang krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan
memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan umumnya
semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Pada waktu itu korupsi
besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota Negara. Dengan otonomi, kantong
korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara tapi berkembanga ke berbagai
daerah
f.
Dalam berbagai pemberitaan di media-media, ternyata korupsi juga banyak
dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD).
Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota
parlemen justru melakukan korupsi yang “dibungkus” rapi.
3.2.
Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
a. Salah satu
cara mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik melaporkan dan
mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum dan sesudah menjabat.
Masyarakat ikut memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan setelah
selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan
melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya ke orang lain.
b. Pengadaan
barang atau kontrak pekerjaan di pemerintahan pusat dan daerah maupun militer
sebaiknya melalui lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat diberi akses
untuk dapat memantau dan memonitor hasil pelelangan tersebut.
c. Korupsi juga
banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan anggota TNI-Polri baru.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sering terjadi dalam proses rekrutmen tersebut.
Sebuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal perekrutan perlu
dikembangkan.
d. Sistem
penilaian kinerja pegawai negeri yang menitik-beratkan pada proses (process
oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk
meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerjanya, bagi pegawai negeri yang
berprestasi perlu diber insentif.
3.3.
Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
a. Salah satu
upaya memberantas korupsi adalah dengan memberi hak kepada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi. Perlu dibangun sistem dimana masyarakat
(termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi sehubungan dengan
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
b. Isu mengenai
public awareness atau kesadaran dan kepedulian publik terhadap bahaya korupsi
dan isu pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bagian penting upaya
pemberantasan korupsi. Salah satu cara meningkatkan public awareness adalah
dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.
c. Menyediakan
sarana untuk melaporkan kasus korupsi. Misalnya melalui telepon, surat,
faksimili (fax), atau internet.
d. Di
beberapa negara pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak dapat
diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi, dengan pemikiran bahwa
bahaya korupsi lebih besar daripada kepentingan individu.
e. Pers yang
bebas adalah salah satu pilar demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima
masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi
f.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingkat lokal maupun
internasional juga memiliki peran penting untuk mencegah dan memberantas
korupsi. Sejak era Reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti Korupsi
banyak bermunculan. LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas
perilaku pejabat publik. Contoh LSM lokal adal ICS (Indonesian Corruption
Watch).
g. Cara lain
untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan perangkat
electronic surveillance. Alat ini digunakan untuk mengetahui dan mengumpulkan
data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang di tempat-tempat
tertentu. Misalnya kamera video (CCTV).
h. Melakukan
tekanan sosial dengan menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak
pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.
D. Andhi
Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (2011) menjelaskan bahwa dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan terdapat empat hal bisa
dijadikan bahan renungan dan pemikiran:
·
Harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan korupsi
·
Revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi
aparatur penegak hukum yang menangani perkara korupsi
·
Reformulasi fungsi lembaga legislatif
·
Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dimulai dari
diri sendiri dari hal-hal yang kecil dan mulai hari ini agar setiap daerah
terbebas dari korupsi (Miranis, 2012).
3.4.
Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi
Untuk memberantas kasus korupsi peraturan
perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Perlu
peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberantasan korupsi yaitu
Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau pencucian uang. Untuk
melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan pers, perlu UU
yang mengatur pers yang bebas. Perlu mekanisme untuk mengatur masyarakat yang
akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan elektronic surveillance
agar tidak melanggar privacy seseorang. Hak warganegara untuk secara bebas
menyatakan pendapatnya juga perlu diatur. Selain itu, untuk mendukung
pemerintahan yang bersih, perlu instrumen kode etik yang ditujukan kepada semua
pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun code of conduct bagi
aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan).
3.5. Pemantauan dan Evaluasi
Perlu
pemantauan dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan
korupsi agar diketahui capaian yang telah dilakukan. Melalui pemantauan dan
evaluasi dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan gagal. Program
yang sukses sebaiknya silanjutkan, sementara yang gagal dicari penyebabnya.
3.6. Kerjasama Internasional
Upaya lain
yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama internasional
baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs. Sebagai contoh di
tingkat internasional, Transparency International (TI) membuat program National
Integrity Sistem. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development)
yang didukung oleh PBB untuk mengambil langkah baru dalam memerangi korupsi di
tingkat internasional membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank
membuat program A Framework for Integrity.
Komentar
Posting Komentar